Pendahuluan
Pada dasarnya belajar gerak (motor learning) merupakan suatu
proses belajar yang memiliki tujuan untuk mengembangkan berbagai
keterampilan gerak yang optimal secara efisien dan efektif. Seiring dengan itu,
Schmidt (1989: 34) menegaskan bahwa belajar gerak merupakan suatu rangkaian
asosiasi latihan atau pengalaman yang dapat mengubah kemampuan gerak ke arah
kinerja keterampilan gerak tertentu.
Sehubungan dengan hal tersebut, perubahan keterampilan gerak dalam
belajar gerak merupakan indikasi terjadinya proses belajar gerak
yang dilakukan oleh seseorang. Dengan demikian, keterampilan gerak yang
diperoleh bukan hanya dipengaruhi oleh faktor kematangan gerak melainkan
juga oleh faktor proses belajar gerak.
Di sisi lain, pengaruh dari belajar gerak tampak pada perbedaan yang
nyata dari tingkat keterampilan gerak seorang anak yang mendapatkan perlakukan
pembelajaran gerak intensif dengan yang tidak. Pada kelompok anak
yang mendapatkan perlakuan belajar gerak intensif menunjukan kurva kenaikan
progresif dan permanen. Sementara itu, dalam pemerolehan
keterampilan gerak dipengaruhi oleh beberapa faktor; (1) faktor individu subyek
didik, (2) faktor proses belajar dan (3) faktor situasi belajar. Faktor
individu subyek belajar dalam belajar gerak akan merujuk pada adanya perbedaan
potensi yang dimiliki subyek didik. Perbedaan potensi
kemampuan gerak yang dimiliki oleh subyek didik ini secara fundamental akan
memberikan pengaruh terhadap pemerolehan keterampilan gerak. Perbedaan
potensi kemampuan gerak memiliki implikasi terhadap usaha penyusunan program
pembelajaran gerak Oxendine (1984:56) menegaskan bahwa perbedaan potensi
kemampuan gerak yang dimiliki oleh seorang secara nyata akan memberikan
pengaruh terhadap kecepatan, ketepatan dan tingkat perolehan keterampilan
gerak.
Sementara itu, dalam proses pemerolehan keterampilan gerak, seseorang
harus melalui beberapa tahapan, yaitu ; (1) tahap formasi rencana, (2) tahap
latihan dan (3) tahap otomatisasi.(Rahantoknam, 1989:78)
Tahapan Belajar Gerak
1. Tahap Formasi Rencana
Tahap formasi rencana merupakan tahap di mana seseorang sedang menerima
rangsangan pada alat-alat reseptor. nya sebagai masukan bagi sistem
memorinya. Pada tahap ini, seorang yang sedang belajar gerak akan
mengalami beberapa tahapan proses belajar, sebagai berikut; (1) tahap menerima
dan memproses masukan, (2) proses kontrol dan keputusan dan (3) unjuk
kerja keterampilan.
Pada fase formasi rencana yang yang diawali dengan tahap masukan,
pada dasarnya seorang yang belajar gerak berada pada tahap menerima informasi
tentang bentuk dan pola keterampilan gerak yang kelak harus dilakukannya.
Masukan informasi pada subyek didik dapat dilakukan melalui alat-alat
reseptornya, seperti penglihatan, sentuhan, pendengaran dan penciuman.
Namun demikian dalam belajar gerak penglihatan dan pendengaran merupakan
reseptor yang dominan dalam menerima informasi belajar gerak.
Tahap kedua adalah proses pengolahan informasi. Tahap ini merupakan
tahap analisis infomasi yang masuk. Sebelum respons kinetik
diberikan terhadap suatu stimuli, informasi akan dianalisis melalui; (1)
identifikasi stimulus, (2) seleksi respons dan (3) pemograman respons.
Identifikasi stimulus merupakan awal dari rangkaian pengenalan stimulus
yang diterima seseorang dengan memberikan analisis terhadap ling-
kungan dari suatu variasi sumber informasi, bentuk informasi, sentuhan,
penglihatan (besar kecil, warna, cepat lambat), pendengaran (keras halus,
lambat cepat). Hasil identifikasi stimulus ini akan menjadi bentuk yang
representatif bagi seleksi respons yang harus diberikan terhadap suatu bentuk
stimuli.
Pada tahap seleksi respons akan dilakukan seleksi terhadap berbagai
kemungkinan respons yang harus diberikan terhadap suatu stimuli. Seleksi
respons akan disesuaikan dengan keadaan lingkungan. Berbagai
kemungkinan bentuk gerak akan diprogramkan untuk memberikan
respons. Dalam pe-mograman respons dilakukan pengorganisasian
tugas dari sistem motorik sebagai dasar respons kinetik. Sebelum respons
kinetik sebagai jawaban dimunculkan, maka program dari respons akan
mempertim bangkan bentuk stimulus yang telah diidentifikasi pada tahap
sebelumnya. Bila tahapan rangkaian proses pengolahan informasi telah
dilakukan, maka pola rencana gerak telah terbentuk dalam sistem memori
seseorang. Pola rencana gerak yang berinteraksi dengan lingkungan
stimulus pada akhirnya akan menjadi respons kinetik seperti yang
diunjukkerjakan oleh seseorang.
Respons kinetik sebagai keluaran dari suatu proses sistem akan ber-hubungan
dengan kecepatan memberikan reaksi dan pengambilan keputusan.
Untuk memberikan respons kinetik dengan cepat dan tepat,
menurut Abdoellah (1987:45) berkaitan dengan potensi kemampuan gerak yang
dimiliki oleh seseorang. Dari model yang sederhana di atas oleh para ahli
belajar gerak dikembangkan beberapa teori belajar gerak.
Dalam hal ini Singer (1993:98) mengembangkan teori model belajar
gerak yang diawali dengan proses pengolahan informasi. Dari teori
tersebut tampak bahwa Singer mengembangkan model belajar gerak yang
mengkombinasikan proses pengo-lahan informasi, adaptasi dengan
sibernetika.
Teori proses pengolahan infromasi dalam model ini berkaitan dengan tahap
saat seseorang menerima masukan dan memproses informasi menjadi rencana gerak
dalam memorinya. Kemudian, proses adaptasi tampak pada
mekanisme dari perencanaan gerak menjadi suatu unjukkerja keterampilan gerak
seseorang. Sedangkan teori sibernatika tampak dari proses mekanisme
otoregulasi umpanbalik yang harus dan dapat dimunculkan secara intrisik.
Sebagai suatu masukan dalam sistem mekanisasi organisme masuknya
informasi merupakan tahap penerimaan stimulus yang segera diubah dan
disesuaikan dengan situasi stumulus melalui tahapan yang
sistematik. Hal tersebut berhubungan dengan mekanisme sistem saraf dan
hormon. Dalam hal ini, reseptor merupakan fungsi utama untuk menerima
informasi dan melalui sistem saraf segera diubah menjadi tanda masukan bagi
sistem memori. Masukan informasi akan mengalami proses interaksi dan adaptasi
dengan berbagai faktor individual. Sehubungan dengan ini, kemampuan
individu dalam mengadopsi dan memproses suatu informasi akan berbeda antara
yang satu dengan lainnya. Pada sisi lain, faktor situasi eksternal
seperti tempat, cahaya, jarak tingkat kesukaran saat informasi diterima
reseptor merupakan salah satu faktor dominan yang mempengaruhi seorang dalam
menerima dan mengubah informasi tersebut. Pada sisi lain, fungsi
penyimpanan memori memiliki dua fungsi yaitu; sebagai (1) penerima dari masukan
stimuli yang kemudian akan dikenali dan diringkas, dan (2) transmisi yang
mendekatkan informasi ke mekanisme persepsi untuk dikenali atau ditempatkan
pada penyimpanan jangka panjang untuk dihubungkan dengan memori.
Untuk pemerolehan keterampilan gerak, faktor pengenalan dan proprioseptik dari
informasi angat penting.
Makin sederhana dan jelasnya informasi yang masuk akan makin cepat diterima
dan simpan dalam sistem memori. Kesederhanaan dan kejelasan informasi
dalam belajar gerak berkaitan dengan bentuk-bentuk gerak yang menjadi bahan
belajar.
Pada sisi lain, hubungan antara reseptor (situasi informasi) dengan
efektor bukan hanya terjadi karena proses pengolahan informasi dan habitual
melainkan proses tersebut akan terjadi secara otoregulator atau
sibernetika. Mekanisme sibernetik antara efektor dan reseptor merupakan
konpensasi dari proses habitual belajar gerak dan situasi stimuli.
Sehubungan dengan hal di atas, maka faktor situasi belajar merupakan salah
satu faktor yang akan memberikan pengaruh dalam proses pembelajaran
gerak. Dalam belajar gerak, situasi belajar berhubungan dengan analisis
kemampuan individu subyek belajar dan profil tugas yang kelak
dilakukanya. Profil tugas belajar gerak mengacu pada tujuan belajar yang
hendak dicapai dalam suatu proses kegiatan belajar.
Dengan memahami potensi indvidu dan tujuan yang hendak dicapai maka dapat
diciptakan situasi belajar yang kondusif. Rancang bangun yang efektif
dari situasi belajar akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap rangkaian
proses pemerolehan keterampilan gerak. Pada tahap manapun dari rangkaian
belajar gerak senantiasa dibutuhkan situasi belajar yang kondusif.
Sementara
itu, orientasi dari belajar gerak tidak hanya sekedar pada usaha pengembangan
berbagai keterampilan gerak melainkan melalui belajar gerak akan dikembangkan
pula komponen lain dari subyek didik. Kartono (1989: 67) menegaskan
bahwa pemberian pengalaman gerak yang luas kepada anak merupakan
tindakan yang bijaksana dalam usaha mempengaruhi perkembangan anak.
Melalui gerak, pada dasarnya anak sedang mengadakan interaksi dan komunikasi
dengan dunia luarnya dalam usaha melengkapi pengatahuan dan sikapnya. Pengaruh
dari proses belajar terhadap ranah kognitif dan afektif bukanlah pengaruh tidak
langsung
melainkan pengaruh langsung seperti halnya terhadap perkembangan gerak.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditegaskan bahwa belajar gerak
memiliki beberapa intensi yang meliputi perkembangan; (1) ranah psikomotor, (2)
ranah kognitif dan (3) ranah afektif. Pada ranah psimotor intensi belajar
gerak memuat dua tujuan utama; (1) kemampuan bergerak, (2) kemampuan
fisik. Kemampuan bergerak memuat masing-masing; (1) kemampuan gerak
lokomotor, (2) kemampuan gerak manipulasi dan (3) kemampuan gerak
stabilisasi. Sedangkan kemampuan fisik memuat masing-masing; (1)
kesegeran jasmani dan (2) kesegaran gerak.
Hal-hal di atas secara multilateral dapat dikembangkan melalui program
pembelajaran gerak yang efektif. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa dalam situasi pembelajaran gerak tidak hanya dikembangkan keterampilan
gerak melainkan dengan segera dapat dikembangkan pula faktor-faktor lain yang
menjadi komponen dalam perkembangan totalitas anak.
2. Tahap Latihan
Tahap kedua dari belajar gerak adalah tahap latihan. Pada tahap ini
di mana pola gerak yang telah terbentuk dalam sistem memori sedang diunjuk
kerjakan. Unjuk kerja keterampilan pada awalnya dilakukan dengan tingkat
koordinasi yang rendah.
Rahantoknam (1989) menegaskan bahwa pada tahap ini dua hal yang perlu
mendapatkan perhatian, yakni frekuensi pengulangan, intensitas, dan
tempo. Frekuensi pengulangan pada dasarnya merujuk pada berapa kali
seorang melakukan pengulangan gerakan, baik yang dilakukan dalam satuan berkali
belajar maupun yang berhubungan dengan jumlah pengulangan yang dilakukan
dalam satu minggu.
Efektivitas frekuensi pengulangan memiliki karakter yang
individualistik. Sehubungan dengan adanya perbedaan kemampuan individu
maka kebutuhan frekuensi pengulanganpun akan berbeda-beda. Oleh karenanya
tinggi-rendahnya frekuensi pengulangan yang dilakukan oleh individu sangat
tergantung pada kemampuan individu.
Sehubungan dengan hal tersebut, Hebert, Landin dan Solmon (2001)
menemukan hubungan antara frekuensi pengulangan dengan kemampuan
individu. Makin baik kemampuan individu makin rendah frekuensi
pengulangan yang dibutuhkannya. Namun demikian, frekuensi belajar
tidak selamanya memiliki hubungan yang linear dengan kemampuan individu
terhadap perolehan keterampilan gerak seseorang. Setiap individu
memiliki keterbatasan kecenderungan dan kemampuan untuk beradaptasi dengan
frekuensi belajar. Ada individu yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi
dengan frekuensi belajar tinggi. Ia dapat mengatasi berbagai kendala
fisik dan dan psikis yang menekannya.
Frekuensi pengulangan di samping memperkuat hubungan antara reseptor dan
efektor, juga dapat memperbaiki kualitas pola gerak yang terbentuk dalam sistem
memori. Oleh karenanya melalui frekuensi pengulangan yang efektif
pola gerak makin permanen terbentuk dalam sistem memori seseorang. Sehubungan
dengan hal tersebut, perlu ditegaskan bahwa suatu pola gerak yang telah
tersimpan dengan permanen dalam sistem memori seseorang mempermudah
bagianya untuk memanggil kembali bila ia menginginkannya.
Variasi bentuk latihan yang memperyimbangkan beragam situasi dan kondisi
secara langsung dapat memperkaya seseorang dalam memberikan respons kinetik
yang dikonvensikan dengan situasi dan kondisi. Salah satu indikasi
permenannya pola gerak yang terbentuk dalam sistem memori adalah dengan makin
baiknya tinkat koordinasi gerak yang dapat dilakukan oleh
seseorang. Bila keterampilan gerak terus dilakukan dengan
pengulangan dan umpan yang efektif dapat mempercepat proses otomatisasi gerak.
Frekuensi pengulangan yang efektif dapat mengurangi tingkat gangguan dalam
pembentukan pola gerak secara permanen. Seperti diketahui dalam kehidupan
sehari-hari, seseorang akan menerima berbagai informasi. Informasi
belajar merupakan salah satu dari berbagai informasi yang diterima oleh
seseorang. Informasi-informasi tersebut sangat penting untuk membentuk
pengalaman-pengalaman dalam kehidupan seseorang, baik yang berhubungan
dengan pengalaman verbal maupun pengalaman gerak.
Dalam proses penguatan pola gerak dalam sistem memori antara satu informasi
dengan lainnya saling berinteraksi, bahkan tidak menutup kemungkinan akan
saling bertindih. Sehubungan dengan hal tersebut, agar pola gerak
dapat terbentuk dengan permanen dalam sistem memori, di samping faktor
kelejasan, kederhanaan, kuat dan harmonisnya informasi juga faktor keefektifan
pengulangan dan umpan balik merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan.
Sehubungan dengan hal di atas, frekuensi pengulangan yang dilakukan oleh
seseorang dapat berhubungan dengan dua hal utama; pertama adalah
frekuensi pengulangan berhubungan dengan jumlah pertemuan yang dilakukan oleh
seseorang dalam satuan waktu tertentu. Berapa jumlah
frekuensi yang dibutuhkan oleh seseorang agar ia dapat menguasai suatu
keterampilan gerak tertentu? Berapa lama jeda waktu di antara frekusensi
tersebut? Tentu saja relatif. Tiap individu memiliki kebutuhan waktu yang
berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya.
Di samping hal itu, kemampuan fisik sangat mendukung untuk memperoleh
keterampilan gerak, khususnya kemampuan fisik yang secara langsung berhubungan
dengan proses pengulangan gerakkan yang dilakukan oleh seseorang dalam waktu
yang relatif lama. Untuk dapat menampilkan suatu keterampilan yang
berulang-ulang dengan kualitas kinerja relatif sama dibutuhkan kemampuan fisik,
seperti daya tahan jantung dan otot.
Kemampuan fisik secara langsung menjadi landasan bagi pengulangan gerakkan
yang dilakukan oleh seseorang. Dengan kemampuan fisik yang baik,
pengulangan dapat dilakukan dengan baik. Pengulangan-pengulangan gerakkan
yang dilakukan efektif dapat memperbaiki koordinasi gerak.
Kedua, adalah bahwa frekuensi pengulangan berhubungan dengan
jumlah perlakuan yang dapat dilakukan dalam satuan minggu. Dengan
demikian, dalam hal ini frekuensi pengulangan berhubungan dengan dalam satu
minggu berapa kali seseorang harus mengulang gerakkan yang dipelajari.
Sehubungan dengan hal tersebut, paling sedikit harus dilakukan dua kali
perminggu. Itupun untuk mendapatkan pola gerak yang sederhana.
Untuk menguasai pola gerak yang kompleks dibutuhkan waktu pengulangan yang
lebih banyak lagi.
Dalam usaha memperoleh suatu keterampilan gerak, perhatian terhadap waktu
istirahat sama pentingnya dengan waktu perlakuan. Perhatian terhadap waktu
istirahat diantara waktu perlakuan berhubungan beberapa gangguan yang mungkin
muncul dan dapat mengganggu memori yang belum permanen. Gangguan yang
terjadi di antara dua informasi yang disajikan tidak jarang dapat menggeser
pengalaman yang belum permanen dalam sistem memori. Bila ini terjadi maka
unjuk kerja keterampilam yang dimunculkan dengan koordinasi yang rendah.
Bila pengulangan dilakukan dengan intensitas rendah atau dengan dengan
interval waktu yang relatif lama, yang terjadi dalam sistem memori bukan
hanya penggeseran informasi sajal mekainkan terjadi pula pelapukan
informasi. Lapuknya informasi dalam memori dapat menyebabkan informasi
tersebut terhapus dan bahkan menjadi hilang. Bila hal ini terjadi, maka
seseorang akan sulit bahkan tidak dapat mengingat apa-apa yang pernah
dipelajarinya.
Secara fisiologis, kurangnya intensitas dalam frekuensi pengulangan dapat
menjadi sebab kurang permanennya hubungan antara dendrit dan axon pada sistem
saraf. Permanen hubungan antara keduanya merupakan mata rantai dari
hubungan reseptor-efektor. Bila hubungan antara reseptor dengan efektor terjadi
dengan efektif maka segera dapat diidikasikan bahwa unjuk kerja
keterampilan dilakukan dengan efektif. Dengan pengulangan yang
efektif, lambat laun gerakkan dapat dilakukan dengan otomatisasi.
Pada sisi lain, secara fisiologis anak memiliki kemampuan yang terbatas
dalam beradaptasi dengan intensitas kerja fisik tertentu. Anak
membutuhkan waktu istirahat di antara dua atau lebih perlakuan kerja
fisik. Waktu istirahat dibutuhkan anak untuk dapat mengembalikan
kemampuannya. Aktivitas fisik dengan intensitas tinggi dan rendah
memiliki implikasi yang berbeda terhadap kemampuan anak untuk melakukan
aktivitas dan waktu istirahat.
Intensitas kerja fisik tinggi mendorong anak untuk melakukan aktivitas
fisik dalam waktu yang relatif singkat. Bila intensitas diturunkan
menjadi sedang dan rendah maka ia dapat melakukan aktivitas fisik yang relatif
lebih lama daripada intensitas tinggi. Demikian pula dengan
waktu istirahat. Intensitas tinggi, sedang dan rendah membutuhkan
waktu istirahat yang relatif berbeda.
3. Tahap Otmatisasi
Tahap ini meruapakan tahap akhir dari rangkaian proses belajar.
Gerakkan otomatisasi merupakan hasil dari latihan yang dilakukan dengan
efektif. Gerakkan otomatisasi dapat terjadi karena terjadinya
hubungan yang permanen antara reseptor dengan efektor. Gerakkan otomatiasi
dalam mekanismennya tidak lagi dikoordinasikan oleh sistem syaraf pusat
melainkan pada jalur singkat pada sistem saraf otonom.
Penutup
Bila kita cermati uraian di atas, maka tampak bahwa sesungguhnya belajar
gerak memiliki instensi dan koneksi yang kuat dengan teori belajar, fisiologi
dan psikologi. Sebagai bagian dari teori belajar, tahapan belajar juga
merupakan bagian dari teori komunikasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk lebih memahami teori belajar
gerak secara komprehensif, tampaknya perlu dilakukan analisis
komprehensif terhadap beberapa teori psikologi, komunikasi dan fisiologi yang
memiliki koneksi langsung dengan teori belajar gerak. dengan seksama.
Dengan demikian, teori belajar gerak dapat dipahami dan diimplementasikan
sebagai bagian integral dari pengembangan kompetensi professional guru.
Sementara itu, memasukkan teori belajar gerak sebagai bagian integral
dari seperangkat mata kuliah di Fakultas Ilmu Keolahragaan/Fakultas Pendidikan Olahraga/Jurusan
Pendidikan olahraga merupakan suatu tindakan yang tepat. Karena memang
lulusaan dari institusi ini akan berhadapan langsung dengan dunia aktivitas
gerak manusia.
Rujukan Terpilih
Abdulkadir Ateng, Pendidikan Olahraga. Jakarta:
IKIP Jakarta 1993
————————, Asas dan Landasan Pendidikan Jasmani. Jakarta: P2TK
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1992
Magill, Richard. A. Motor Learning: Concepts and Aplications. Dubuque:
Wm. C Brown Publisher, 1985
Marteniuk, Ronald. G. Information Processing in Motor Skills. New
York: Holt Rinhat an Winston, 1987.
Oxendine, Joseph. B. Pshychology of Motor Learning. Englewood New
Jersey: Prentice Hall, 1984
Pangrazi, Robert. P and Dauer, Victor. P. Movement in Early Chilhood and
Elementary Education. Mineapolis: Burgess Publishing Company, 1981
Rahantoknam, B. E. Perkembangan Motorik dan Belajar Gerak Pada Anak-anak
Sekolah Dasar. Jakarta: Yayas-an Pengembangan Olahraga Indonesia, 1990
————————-. Belajar Gerak. (Jakarta: FPOK IKIP Jakarta, 1989)
Schmidt, Richard, A. Motor Control and Learning: A Behavioral Emphasis. Champaign:
Human Kinetic Publishers, Inc, 1988
————————–, Motor Learning Performance. Champaign: Human
Kinetics Books, 1991
Singer, Robert. N. Motor Learning and Human Performance. London:
Collier Macmillan Publishers, 1980
No comments:
Post a Comment